|
MENDADAK
JILBAB
Oleh:
Moch Iqbal *)
Sosiolog
dan Dosen IAIN Bengkulu
Bulan
Ramadhan, masyarakat akan melihat pemandangan yang berbeda dari bulan-bulan
sebelumnya. Busana sehari-hari yang biasanya dikendalikan mode terbaru, khusus
untuk ‘hajatan’ Ramadhan tren busana tidak berlaku lagi. Tren yang berlaku
hanya tunggal, Koko untuk laki-laki dan Hijab untuk perempuan. Para artis, para
pelaku industri hiburan dan masyarakat pada umumnya, mendadak menjadi ‘sholeh’
dan ‘sholehah’. Masyarakat berbondong-bondong memakai kerudung, atau berbaju
koko untuk laki-laki, kendati hanya di bulan Ramadhan.
Busana
Koko dan Hijab kemudian diklaim menjadi busana muslim. Padahal bila mau sedikit
menggugat kebenaran apakah baju semacam koko adalah baju muslim, masih bisa
diperdebatkan. Bila mau memperhatikan, bentuk kerah dan penamaan baju koko,
sebenarnya dapat dengan mudah diketahui bahwa baju tersebut adalah model baju
Cina, yang biasa dipakai kaum laki-laki atau perempuan Tionghoa. Ada sejarah
yang cukup panjang, yang tidak untuk dibahas disini, tentang transformasi dari
model baju Tionghoa menjadi baju muslim.
Berbeda
dengan hijab/jilbab, hampir semua kalangan sepakat bahwa hijab, yang hanya
menampakkan wajah dan telapak tangan adalah busana muslimah. Karena Jilbab
hanya dikenal dan dipakai oleh perempuan Timur tengah, tempat dimana Islam
dilahirkan, yang kemudian menjadi identik bahwa jilbab adalah busana muslimah.
Sebagai konsekwensinya, perempuan yang tidak menggunakan jilbab dianggap tidak
patuh pada agama dan melanggar syariat agama.
Kendati
demikian ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa, jilbab lebih kental
ber-aroma budaya lokal Arab, ketimbang pesan agama. Jauh sebelum Jilbab ditarik
ke wilayah teologis, kerudung, cadar, jilbab dan sejenisnya sudah ada sejak lama
sebelum Islam. Dalam penelusuran Nasaruddin Umar (1995), kerudung berawal dari
adanya kepercayaan terhadap darah menstruasi (Menstual Taboo) yang dialami
perempuan. Kaum Yahudi kuno menganggap, perempuan yang sedang mengalami
menstruasi harus dikucilkan sebuah tempat tertentu dan tidak boleh menyentuh
beberapa jenis makanan tertentu. Apabila hal itu dilanggar, akan muncul bencana
yang besar menimpa mereka.
Di
samping itu, wanita yang sedang menstruasi tidak boleh bercampur dengan
keluarganya, tidak boleh berhubungan seks. Yang lebih penting ialah tatapan
mata (menstrual gaze) dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut
dengan "mata iblis" (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa
menimbulkan berbagai bencana. Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai
isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya
tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.
Agar
pandangan/tatapan "mata iblis" tidak menimbulkan bencana, maka dengan
menggunakan kerudung/cadar (hoods/veils) yang dapat menghalangi tatapan mata
tersebut. Kalangan antropolog berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi
asal-usul penggunaan kerudung atau cadar. Cadar atau semacamnya bukan berawal
dan diperkenalkan oleh Agama Islam dengan mengutip "ayat-ayat jilbab"
dan hadits-hadits tentang aurat. Jauh sebelumnya sudah ada konsep
kerudung/cadar yang diperkenalkan dalam Kitab Tawrat dan Kitab Injil. Bahkan
menurut Epstein, ketentuan penggunaan cadar sudah dikenal dalam Hukum Kekeluargaan
Asyiria (Assyrian Code).
Seiring
dengan berjalannya waktu, kepercayaan terhadap efek wanita haid kemudian
melunak. Perempuan Mens (haid) yang sebelumnya harus dikucilkan, tidak harus
menjalankan ritual yang demikian, namun harus menutup seluruh tubuhnya hingga
yang kelihatan sepasang mata, atau sedikit wajahnya saja. Hal tersebut
dimaksudkan agar penyakit atau bencana tidak menyebar di masyarakat luas.
Jilbab
Budaya Arab?
Dalam
panggung teologis, perdebatan masalah kerudung ini, tidak kalah seru. Apakah
jilbab yang dikenal sekarang, yaitu hanya menampakkan wajah dan telapak tangan
itu, perintah agama, atau lebih kental aroma budaya Arab semata. Bila menengok
sepintas historitas jilbab, pengaruh budaya Arab tidak bisa dikesampingkan,
namun bila melihat teks agama, jilbab juga disinggung, kendati tidak banyak.
Ayat
QS. An-Nur [24] : 31.“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya…”.Ayat ini pangkal polemik diantara para ahli.
Banyak sekali para mufassirin dan ahli fiqh, yang berpendapat bahwa jilbab
sebagaimana disinggung di atas adalah perintah agama.
Sedangkan
Quraish Shihab berpendapat bahwa masing-masing penganut pendapat di atas
sebatas menggunakan logika dan kecenderungannya serta dipengaruhi secara sadar
atau tidak dengan perkembangan dan kondisi sosial masyarakatnya. Batas aurat
wanita tidaklah secara jelas ditegaskan dalam ayat tersebut.
Sehingga
ayat tersebut tidak seharusnya menjadi dasar yang digunakan untuk menetapkan
batas aurat wanita (Shihab, 2006:67). Selain itu, Quraish juga menegaskan bahwa
perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya tidak selalu harus diartikan wajib
atau haram, tetapi bisa juga perintah itu bermakna anjuran, sedangkan
larangan-Nya dapat berarti sebaiknya ditinggalkan (Shihab, 2006).
Sementara
dalam memahami kalimat ‘illâ mâ zhahara minhâ,’ Quraish Shihab berpendapat
bahwa sangat penting untuk menjadikan adat kebiasaan sebagai pertimbangan dalam
penetapan hukum, namun dengan catatan adat tersebut tidak lepas kendali dari
prinsip-prinsip ajaran agama serta norma-norma umum. Karena itu ia sampai
kepada pendapat bahwa pakaian adat atau pakaian nasional yang biasa dipakai
oleh putri-putri Indonesia yang tidak mengenakan jilbab tidak dapat dikatakan
sebagai telah melanggar aturan agama (Shihab, 1996).
Berpakaian
Amal Kebaikan
Jauh
lebih penting dari polemik, apakah jilbab perintah agama, atau sekedar budaya
Arab, adalah berpakaian amal kebaikan (libassut taqwa). Hampir semua ulama dan
para agamawan tidak berselisih tentang berprilaku bajik. Hal ini sesuai dengan
hadits Nabi yang sangat populer ‘Aku diutus ke muka bumi ini, tidak lain untuk
menyempurnakan akhlak’. Artinya, yang lebih ditekankan dalam beragama adalah
prilaku sosial, bukan semata-semata pakaian dan penampilan fisik. Dan ‘madrasah
Ramadhan’ adalah instrumen penting menuju kesalehan ritual sekaligus kesalehan
sosial. Wallahua a’lam bisshowab.
Analisis:
Setelah
membaca tulisan bapak yang menarik ini, pendapat saya tentang tulisan ini ada
setuju dan ada tidak setujunya. Saya setuju dengan tulisan yang menerangkan
bahwa para artis, para pelaku industri hiburan dan masyarakat pada umumnya
mendadak menjadi ‘sholeh’ dan ‘sholehah’. Dengan adanya bulan suci Ramadhan, masyarakat
yang ramai menutup aurat bisa dikatakan mereka menghargai dan menyambut bulan
penuh Berkah itu dengan suka cita dan
patut untuk dihargai. Mereka menghargai dan menyambut bulan Ramadhan dengan
lebih sopan dan menutup aurat, dan tidak jarang juga ada yang menetap dan
tergerak hatinya untuk istiqomah mengenakan jilbabnya walaupun Ramadahn telah
berakhir.
Jilbab
memang merupakan busana muslimah. Tetapi perempuan yang tidak menggunakan jilbab
tidaklah langsung dicap sebagai orang yang tidak patuh pada agama dan melanggar
syariat agama. Orang yang patuh terhadap agama pun terkadang banyak juga yang
tidak mengenakan jilbab. Begitu juga sebaliknya, orang yang berjilbab juga
banyak yang tidak patuh terhadap agama. Orang yang berjilbab setidaknya ia
berusaha atau belajar untuk menjadi lebih taat pada perintah Tuhannya.
Ukuran
kepatuhan tidaklah terdapat pada jilbab, karena antara jilbab dan akhlak adalah
2 hal yang berbeda. Berjilbab adalah murni perintah Allah., wajib untuk wanita
muslim yang telah baligh, sedangkan akhlak adalah budi pekerti yang bergantung
pada pribadi masing-masing. Jika seorang wanita berjilbab melakukan dosa atau
pelanggaran, itu bukan karena jilbabnya namun karna akhlaknya.
Pakaian
adat atau pakaian nasional yang biasa dipakai oleh putri-putri Indonesia yang
tidak mengenakan jilbab tidak dapat dikatakan sebagai telah melanggar aturan
agama. Saya setuju dengan pendapat ini dan memang benar itu tidak dikatakan
melanggar aturan agama, karena yang lebih ditekankan dalam beragama adalah
prilaku sosial dan attitude, bukan semata-semata pakaian dan penampilan fisik. Ada
kalimat yang mengatakan “Jilbaban tapi
gak bener”. Jilbab tidak pernah bersalah, hanya saja watak si pemakai harus
diperbaiki agar lebih baik lagi kedepannya.
Tidak
ada kaitan antara jilbab dengan menstruasi. Berjilbab adalah murni perintah
Allah., wajib untuk wanita muslim yang telah baligh. Firman Allah yang
berkaitan dengan jilbab terdapat dalam Q.S Al-Ahzab: 59 dan Q.S An-Nur: 31. Anjuran
untuk memakai jilbab sudah jelas terdapat dalam Al-qur’an. Dan memang dalam
ayat tersebut, batas aurat wanita tidaklah secara jelas ditegaskan. Tradisi penggunaan jilbab memang sudah ada jauh
sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan. Bila saya sedikit berpendapat, mengenai
anggapan Yahudi tentang wanita yang menstruasi harus dikucilkan dan diberi
tanda untuk menutup seluruh tubuh dan mengenakan cadar untuk menghalangi
pandangan, itu berarti orang yang menstruai itu lebih mulia dengan menjaga
pandangannya dari pada wanita Yahudi lain yang sedang tidak menstruasi. Menstrual
taboo merupakan mitos yang bertujuan untuk mencegah “si mata iblis” dalam
melakukan aksinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar