Rabu, 07 Oktober 2015

Mendadak Jilbab by Liya Oktaviani

Nama             : Liya Oktaviani
NIM                 : 212 331 9149
Mata Kuliah   : Penulisan feature dan opini
Tugas Menganalisis Tulisan yang Berjudul “Mendadak Jilbab”
 
 




MENDADAK JILBAB
Oleh: Moch Iqbal *)
Sosiolog dan Dosen IAIN Bengkulu

Bulan Ramadhan, masyarakat akan melihat pemandangan yang berbeda dari bulan-bulan sebelumnya. Busana sehari-hari yang biasanya dikendalikan mode terbaru, khusus untuk ‘hajatan’ Ramadhan tren busana tidak berlaku lagi. Tren yang berlaku hanya tunggal, Koko untuk laki-laki dan Hijab untuk perempuan. Para artis, para pelaku industri hiburan dan masyarakat pada umumnya, mendadak menjadi ‘sholeh’ dan ‘sholehah’. Masyarakat berbondong-bondong memakai kerudung, atau berbaju koko untuk laki-laki, kendati hanya di bulan Ramadhan.
Busana Koko dan Hijab kemudian diklaim menjadi busana muslim. Padahal bila mau sedikit menggugat kebenaran apakah baju semacam koko adalah baju muslim, masih bisa diperdebatkan. Bila mau memperhatikan, bentuk kerah dan penamaan baju koko, sebenarnya dapat dengan mudah diketahui bahwa baju tersebut adalah model baju Cina, yang biasa dipakai kaum laki-laki atau perempuan Tionghoa. Ada sejarah yang cukup panjang, yang tidak untuk dibahas disini, tentang transformasi dari model baju Tionghoa menjadi baju muslim.
Berbeda dengan hijab/jilbab, hampir semua kalangan sepakat bahwa hijab, yang hanya menampakkan wajah dan telapak tangan adalah busana muslimah. Karena Jilbab hanya dikenal dan dipakai oleh perempuan Timur tengah, tempat dimana Islam dilahirkan, yang kemudian menjadi identik bahwa jilbab adalah busana muslimah. Sebagai konsekwensinya, perempuan yang tidak menggunakan jilbab dianggap tidak patuh pada agama dan melanggar syariat agama.
Kendati demikian ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa, jilbab lebih kental ber-aroma budaya lokal Arab, ketimbang pesan agama. Jauh sebelum Jilbab ditarik ke wilayah teologis, kerudung, cadar, jilbab dan sejenisnya sudah ada sejak lama sebelum Islam. Dalam penelusuran Nasaruddin Umar (1995), kerudung berawal dari adanya kepercayaan terhadap darah menstruasi (Menstual Taboo) yang dialami perempuan. Kaum Yahudi kuno menganggap, perempuan yang sedang mengalami menstruasi harus dikucilkan sebuah tempat tertentu dan tidak boleh menyentuh beberapa jenis makanan tertentu. Apabila hal itu dilanggar, akan muncul bencana yang besar menimpa mereka.
Di samping itu, wanita yang sedang menstruasi tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks. Yang lebih penting ialah tatapan mata (menstrual gaze) dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan "mata iblis" (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana. Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.
Agar pandangan/tatapan "mata iblis" tidak menimbulkan bencana, maka dengan menggunakan kerudung/cadar (hoods/veils) yang dapat menghalangi tatapan mata tersebut. Kalangan antropolog berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi asal-usul penggunaan kerudung atau cadar. Cadar atau semacamnya bukan berawal dan diperkenalkan oleh Agama Islam dengan mengutip "ayat-ayat jilbab" dan hadits-hadits tentang aurat. Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang diperkenalkan dalam Kitab Tawrat dan Kitab Injil. Bahkan menurut Epstein, ketentuan penggunaan cadar sudah dikenal dalam Hukum Kekeluargaan Asyiria (Assyrian Code).
Seiring dengan berjalannya waktu, kepercayaan terhadap efek wanita haid kemudian melunak. Perempuan Mens (haid) yang sebelumnya harus dikucilkan, tidak harus menjalankan ritual yang demikian, namun harus menutup seluruh tubuhnya hingga yang kelihatan sepasang mata, atau sedikit wajahnya saja. Hal tersebut dimaksudkan agar penyakit atau bencana tidak menyebar di masyarakat luas.
Jilbab Budaya Arab?
Dalam panggung teologis, perdebatan masalah kerudung ini, tidak kalah seru. Apakah jilbab yang dikenal sekarang, yaitu hanya menampakkan wajah dan telapak tangan itu, perintah agama, atau lebih kental aroma budaya Arab semata. Bila menengok sepintas historitas jilbab, pengaruh budaya Arab tidak bisa dikesampingkan, namun bila melihat teks agama, jilbab juga disinggung, kendati tidak banyak. 
Ayat QS. An-Nur [24] : 31.“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…”.Ayat ini pangkal polemik diantara para ahli. Banyak sekali para mufassirin dan ahli fiqh, yang berpendapat bahwa jilbab sebagaimana disinggung di atas adalah perintah agama.
Sedangkan Quraish Shihab berpendapat bahwa masing-masing penganut pendapat di atas sebatas menggunakan logika dan kecenderungannya serta dipengaruhi secara sadar atau tidak dengan perkembangan dan kondisi sosial masyarakatnya. Batas aurat wanita tidaklah secara jelas ditegaskan dalam ayat tersebut.
Sehingga ayat tersebut tidak seharusnya menjadi dasar yang digunakan untuk menetapkan batas aurat wanita (Shihab, 2006:67). Selain itu, Quraish juga menegaskan bahwa perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya tidak selalu harus diartikan wajib atau haram, tetapi bisa juga perintah itu bermakna anjuran, sedangkan larangan-Nya dapat berarti sebaiknya ditinggalkan (Shihab, 2006).
Sementara dalam memahami kalimat ‘illâ mâ zhahara minhâ,’ Quraish Shihab berpendapat bahwa sangat penting untuk menjadikan adat kebiasaan sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum, namun dengan catatan adat tersebut tidak lepas kendali dari prinsip-prinsip ajaran agama serta norma-norma umum. Karena itu ia sampai kepada pendapat bahwa pakaian adat atau pakaian nasional yang biasa dipakai oleh putri-putri Indonesia yang tidak mengenakan jilbab tidak dapat dikatakan sebagai telah melanggar aturan agama (Shihab, 1996).
Berpakaian Amal Kebaikan
Jauh lebih penting dari polemik, apakah jilbab perintah agama, atau sekedar budaya Arab, adalah berpakaian amal kebaikan (libassut taqwa). Hampir semua ulama dan para agamawan tidak berselisih tentang berprilaku bajik. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang sangat populer ‘Aku diutus ke muka bumi ini, tidak lain untuk menyempurnakan akhlak’. Artinya, yang lebih ditekankan dalam beragama adalah prilaku sosial, bukan semata-semata pakaian dan penampilan fisik. Dan ‘madrasah Ramadhan’ adalah instrumen penting menuju kesalehan ritual sekaligus kesalehan sosial. Wallahua a’lam bisshowab.
Analisis:
Setelah membaca tulisan bapak yang menarik ini, pendapat saya tentang tulisan ini ada setuju dan ada tidak setujunya. Saya setuju dengan tulisan yang menerangkan bahwa para artis, para pelaku industri hiburan dan masyarakat pada umumnya mendadak menjadi ‘sholeh’ dan ‘sholehah’. Dengan adanya bulan suci Ramadhan, masyarakat yang ramai menutup aurat bisa dikatakan mereka menghargai dan menyambut bulan penuh Berkah  itu dengan suka cita dan patut untuk dihargai. Mereka menghargai dan menyambut bulan Ramadhan dengan lebih sopan dan menutup aurat, dan tidak jarang juga ada yang menetap dan tergerak hatinya untuk istiqomah mengenakan jilbabnya walaupun Ramadahn telah berakhir.
Jilbab memang merupakan busana muslimah. Tetapi perempuan yang tidak menggunakan jilbab tidaklah langsung dicap sebagai orang yang tidak patuh pada agama dan melanggar syariat agama. Orang yang patuh terhadap agama pun terkadang banyak juga yang tidak mengenakan jilbab. Begitu juga sebaliknya, orang yang berjilbab juga banyak yang tidak patuh terhadap agama. Orang yang berjilbab setidaknya ia berusaha atau belajar untuk menjadi lebih taat pada perintah Tuhannya.
Ukuran kepatuhan tidaklah terdapat pada jilbab, karena antara jilbab dan akhlak adalah 2 hal yang berbeda. Berjilbab adalah murni perintah Allah., wajib untuk wanita muslim yang telah baligh, sedangkan akhlak adalah budi pekerti yang bergantung pada pribadi masing-masing. Jika seorang wanita berjilbab melakukan dosa atau pelanggaran, itu bukan karena jilbabnya namun karna akhlaknya.
Pakaian adat atau pakaian nasional yang biasa dipakai oleh putri-putri Indonesia yang tidak mengenakan jilbab tidak dapat dikatakan sebagai telah melanggar aturan agama. Saya setuju dengan pendapat ini dan memang benar itu tidak dikatakan melanggar aturan agama, karena yang lebih ditekankan dalam beragama adalah prilaku sosial dan attitude, bukan semata-semata pakaian dan penampilan fisik. Ada kalimat yang mengatakan “Jilbaban tapi gak bener”. Jilbab tidak pernah bersalah, hanya saja watak si pemakai harus diperbaiki agar lebih baik lagi kedepannya.
Tidak ada kaitan antara jilbab dengan menstruasi. Berjilbab adalah murni perintah Allah., wajib untuk wanita muslim yang telah baligh. Firman Allah yang berkaitan dengan jilbab terdapat dalam Q.S Al-Ahzab: 59 dan Q.S An-Nur: 31. Anjuran untuk memakai jilbab sudah jelas terdapat dalam Al-qur’an. Dan memang dalam ayat tersebut, batas aurat wanita tidaklah secara jelas ditegaskan. Tradisi  penggunaan jilbab memang sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan. Bila saya sedikit berpendapat, mengenai anggapan Yahudi tentang wanita yang menstruasi harus dikucilkan dan diberi tanda untuk menutup seluruh tubuh dan mengenakan cadar untuk menghalangi pandangan, itu berarti orang yang menstruai itu lebih mulia dengan menjaga pandangannya dari pada wanita Yahudi lain yang sedang tidak menstruasi. Menstrual taboo merupakan mitos yang bertujuan untuk mencegah “si mata iblis” dalam melakukan aksinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar